Arsip Blog

Minggu, 23 Juni 2013

Kekeliruan di Malam Nishfu Sya’ban

[Muhammad Abduh Tuasikal] http://rumaysho.com/

nishfu sya'ban Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Di bulan Sya'ban ini kita dapat melihat bahwa kaum muslimin sangat antusias dengan hari atau malam nishfu sya'ban (15 Sya'ban). Benarkah ada amalan tertentu ketika itu? Apakah ada tuntunan puasa, shalat atau do'a ketika itu? Semoga tulisan ini bisa menjawabnya.

Malam Nishfu Sya’ban, Malam Diturunkannya Al Qur’an

Di antara kaum muslimin ada yang menganggap bahwa malam Nishfu Sya’ban (malam pertengahan bulan Sya’ban) adalah malam yang istimewa. Di antara keyakinan mereka adalah bahwa malam tersebut adalah malam diturunkannya Al Qur’an. Sandaran mereka adalah perkataan ‘Ikrimah tatkala beliau menjelaskan maksud firman Allah,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (3) فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ (4)

Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (QS. Ad Dukhan: 3-4)

Yang dimaksud dengan malam yang diberkahi dalam ayat ini adalah malam lailatul qadar, menurut mayoritas ulama. Sedangkan ‘Ikrimah –semoga Allah merahmati beliau- memiliki pendapat yang lain. Beliau berpendapat bahwa malam tersebut adalah malam nishfu sya’ban. (Zaadul Maysir, 5/346

Namun pendapat yang mengatakan bahwa Al Qur’an itu turun pada malam nishfu Sya’ban adalah pendapat yang lemah karena pendapat tersebut telah menyelisihi dalil tegas Al Qur’an. Ayat di atas (surat Ad Dukhan) itu masih global dan diperjelas lagi dengan ayat,


شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an.” (QS. Al Baqarah:185). Dan dijelaskan pula dengan firman Allah,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada Lailatul Qadr.” (QS. Al Qadr:1) 

Syeikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah mengatakan, “Klaim yang mengatakan bahwa malam yang penuh berkah (pada surat Ad Dukhan ayat 3-4) adalah malam Nishfu Sya’ban –sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Ikrimah dan lain-lain-, tidak diragukan lagi bahwasanya itu adalah klaim yang jelas keliru yang menyelisihi dalil tegas dari Al Qur’an. Dan tidak diragukan lagi bahwa apa saja yang menyelisihi al haq (kebenaran) itulah kebatilan. Sedangkan berbagai hadits yang menerangkan bahwa yang dimaksudkan dengan malam tersebut adalah malam nishfu Sya’ban, itu jelas-jelas telah menyelisihi dalil Al Qur’an yang tegas dan hadits tersebut sungguh tidak berdasar. Begitu pula sanad dari hadits-hadits tersebut tidaklah shahih sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul ‘Arobi dan para peneliti hadits lainnya. Sungguh sangat mengherankan, ada seorang muslim yang menyelisihi dalil Al Qur’an yang tegas, padahal dia sendiri tidak memiliki sandaran dalil, baik dari Al Qur’an atau hadits yang shahih.” (Adhwaul Bayan, 1552)

Menghidupkan Malam Nishfu Sya’ban dengan Shalat dan Do’a


Sebagian ulama negeri Syam ada yang menganjurkan untuk menghidupkan atau memeriahkan malam tersebut dengan berkumpul ramai-ramai di masjid. Landasan mereka sebenarnya adalah dari berita Bani Isroil (berita Isroiliyat). Sedangkan mayoritas ulama berpendapat bahwa berkumpul di masjid pada malam Nishfu Sya’ban –dengan shalat, berdo’a atau membaca berbagai kisah- untuk menghidupkan malam tersebut adalah sesuatu yang terlarang. Mereka berpendapat bahwa menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan berkumpul di masjid rutin setiap tahunnya adalah suatu amalan yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah).

Namun bagaimanakah jika menghidupkan malam nishfu Sya’ban dengan shalat di rumah dan khusus untuk dirinya sendiri atau mungkin dilakukan dengan jama’ah tertentu (tanpa terang-terangan, pen)? Sebagian ulama tidak melarang hal ini. Namun, mayoritas ulama -di antaranya adalah ‘Atho, Ibnu Abi Mulaikah, para fuqoha (pakar fiqih) penduduk Madinah, dan ulama Malikiyah- mengatakan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah). (Lathoif Al Ma’arif, 247-248). Dan di sini pendapat mayoritas ulama itu lebih kuat dengan beberapa alasan berikut.

Pertama, tidak ada satu dalil pun yang shahih yang menjelaskan keutamaan malam nishfu Sya’ban. Bahkan Ibnu Rajab sendiri mengatakan, “Tidak ada satu dalil pun yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Dan dalil yang ada hanyalah dari beberapa tabi’in yang merupakan fuqoha’ negeri Syam.” (Lathoif Al Ma’arif, 248).
Seorang ulama yang pernah menjabat sebagai Ketua Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa di Saudi Arabia) yaitu Syeikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz mengatakan, “Hadits yang menerangkan keutamaan malam nishfu Sya’ban adalah hadits-hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan sandaran. Adapun hadits yang menerangkan mengenai keutamaan shalat pada malam nishfu sya’ban, semuanya adalah berdasarkan hadits palsu (maudhu’). Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh kebanyakan ulama.” (At Tahdzir minal Bida’, 20).
Begitu juga Syeikh Ibnu Baz menjelaskan, “Hadits dhoif barulah bisa diamalkan dalam masalah ibadah, jika memang terdapat penguat atau pendukung dari hadits yang shahih. Adapun untuk hadits tentang menghidupkan malam nishfu sya’ban, tidak ada satu dalil shahih pun yang bisa dijadikan penguat untuk hadits yang lemah tadi.” (At Tahdzir minal Bida’, 20)


Kedua, ulama yang mengatakan tidak mengapa menghidupkan malam nishfu sya’ban dan  menyebutkan bahwa ada sebagian tabi’in yang menghidupkan malam tersebut, sebenarnya sandaran mereka adalah dari berita Isroiliyat. Lalu jika sandarannya dari berita tersebut, bagaimana mungkin bisa jadi dalil untuk beramal[?] Juga orang-orang yang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, sandaran mereka adalah dari perbuatan tabi’in. Kami katakan, “Bagaimana mungkin hanya sekedar perbuatan tabi’in itu menjadi dalil untuk beramal[?]” (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 296

Ketiga, adapun orang-orang yang berdalil dengan pendapat bahwa tidak terlarang menghidupkan malam nishfu sya’ban dengan shalat sendirian sebenarnya mereka tidak memiliki satu dalil pun. Seandainya ada dalil tentang hal ini, tentu saja mereka akan menyebutkannya. Maka cukup kami mengingkari alasan semacam ini dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
 
Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak. (HR. Muslim no. 1718). Ingatlah, ibadah itu haruslah tauqifiyah yang harus dibangun di atas dalil yang shahih dan tidak boleh kita beribadah tanpa dalil dan tanpa tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.  (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 296-297

Keempat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِى وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ

Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya untuk shalat. Dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at dari hari lainnya untuk berpuasa. (HR. Muslim no. 1144)

Seandainya ada pengkhususan suatu malam tertentu untuk ibadah, tentu malam Jum’at lebih utama dikhususkan daripada malam lainnya. Karena malam Jum’at lebih utama daripada malam-malam lainnya. Dan hari Jum’at adalah hari yang lebih baik dari hari lainnya karena dalam hadits dikatakan, “Hari yang baik saat terbitnya matahari adalah hari Jum’at.” (HR. Muslim). Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan agar jangan mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya dengan shalat tertentu, hal ini  menunjukkan bahwa malam-malam lainnya lebih utama untuk tidak boleh dikhususkan suatu ibadah di dalamnya kecuali jika ada suatu dalil yang mengkhususkannya. (At Tahdzir minal Bida’, 28).

Syeikh Ibnu Baz rahimahullah mengatakan, “Seandainya malam nishfu sya’ban, malam jum’at pertama di bulan Rajab, atau malam Isra’ Mi’raj boleh dijadikan perayaan (hari besar Islam) atau ibadah lainnya, tentu Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memberi petunjuk kepada kita umat Islam mengenai hal ini atau beliau sendiri merayakannya. Jika memang seperti itu beliau lakukan, tentu para sahabat radhiyallahu ‘anhum akan menyampaikan hal tersebut pada kita umat Islam dan tidak mungkin para sahabat menyembunyikannya. Ingatlah, para sahabat adalah sebaik-baik manusia di masa itu dan mereka paling bagus dalam penyampaian setelah para Nabi ‘alaihimus shalatu was salaam. … Dan kalian pun telah mengetahui sebelumnya, para ulama sendiri mengatakan bahwa tidak ada satu dalil yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para sahabat yang menunjukkan keutamaan malam jumat pertama dari bulan Rajab dan keutamaan malam nishfu sya’ban. Oleh karena itu, menjadikan hari tersebut sebagai perayaan termasuk amalan yang tidak ada tuntunannya sama sekali dalam Islam.” (At Tahdzir minal Bida’, 30). Semoga Allah selalu memberi hidayah kepada kaum muslimin yang masih ragu dengan berbagai alasan ini. 

Silakan lihat penilaian kelemahan beberapa hadits mengenai malam nishfu sya’ban di sini.

Apakah shalat Alfiyah adalah suatu amalan yang dituntukan ketika malam nishfu sya’ban?

Perlu diketahui, orang yang pertama kali menghidupkan shalat ini pada malam nishfu sya’ban adalah seseorang yang dikenal dengan Ibnu Abil Hamroo’. Dia tinggal di Baitul Maqdis pada tahun 448 H. Dia memiliki bacaan Qur’an yang bagus. Suatu saat di malam nishfu sya’ban dia melaksanakan shalat di Masjidil Aqsho. Kemudian ketika itu ikut pula di belakangnya seorang pria. Kemudian datang lagi tiga atau empat orang bermakmum di belakangnya. Lalu akhirnya jama’ah yang ikut di belakangnya bertambah banyak. Ketika dating tahun berikutnya, semakin banyak yang shalat bersamanya pada malam nishfu sya’ban. Kemudian amalan yang dia lakukan tersebarlah di Masjidil Aqsho dan di rumah-rumah kaum muslimin, sehingga shalat tersebut seakan-akan menjadi sunnah Nabi. (Al Bida’ Al Hawliyah, 299)

Lalu kenapa shalat ini dinamakan shalat Alfiyah? Alfiyah berarti 1000. Shalat ini dinamakan demikian karena di dalam shalat tersebut dibacakan surat Al Ikhlas sebanyak 1000 kali. Shalat tersebut berjumlah 100 raka’at dan setiap raka’at dibacakan surat Al Ikhlas sebanyak 10 kali. Jadi total surat Al Ikhlas yang dibaca adalah 1000 kali. Oleh karena itu, dinamakanlah shalat alfiyah.

Adapun hadits yang membicarakan mengenai tata cara dan pahala mengerjakan shalat alfiyah ini terdapat beberapa riwayat sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Jauziy dalam Al Maudhu’at (Kumpulan Hadits-hadits palsu). Ibnul Jauzi mengatakan, “Hadits yang membicarakan keutamaan shalat alfiyah tidak diragukan lagi bahwa hadits tersebut adalah hadits palsu (maudhu’). Mayoritas jalan dalam tiga jalur adalah majhul (tidak diketahui), bahkan di dalamnya banyak periwayat yang lemah. Oleh karena itu, dipastikan haditsnya sangat tidak mungkin sebagai dalil.” (Al Maudhu’at, 2/127-130)

Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat.

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com

AMALAN KELIRU DI BULAN RAMADHAN




1.      Mengkhususkan ziarah kubur menjelang Ramadhan


Tidaklah tepat ada yang meyakini bahwa menjelang bulan Ramadhan adalah waktu utama untuk menziarahi kubur orang tua atau kerabat (dikenal dengan NYADRAN). Kita boleh setiap saat melakukan ziarah kubur agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian. Nabi shalallahu’alaihi wa sallam bersabda, 

“Lakukanlah ziarah kubur karena hal itu lebih mengingatkan kalian pada akhirat (kematian).”



Namun masalahnya adalah jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan meyakini bahwa menjelang Ramadhan adalah waktu utama untuk NYADRAN atau NYEKAR. Ini sungguh suatu kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang menuntunkan hal ini.


2.      Padusan, mandi besar, atau keramasan menyambut Ramadhan


Tidaklah tepat amalan sebagian orang yang menyambut bulan Ramadhan dengan mandi besar atau padusan terlebih dahulu. Amalan seperti ini juga tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam.



Puasa pun tetap sah walaupun tidak padusan. Lebih parahnya lagi mandi semacam ini (padusan), ada juga yang melakukannya campur baur laki-laki dan perempuan (ikhtilath) dalam satu tempat pemandian. Ini merupakan suatu kesalahan besar karena tidak mengindahkan aturan Islam. Bagaimana mungkin Ramadhan disambut dengan perbuatan yang bisa mendatangkan murka Allah?


3.      Mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya


Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali bagi seseorang yang terbiasa mengerjakan puasa pada hari tersebut maka puasalah.”



Pada hari tersebut juga dilarang untuk berpuasa karena hari tersebut adalah hari yang meragukan. Dan Nabi shalallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukanmaka dia telah mendurhakai Abul Qasim (yaitu Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam).”


4.      Melafazkan niat “Nawaitu shouma ghodin...”


Sebenarnya tidak ada tuntunan sama sekali untuk melafazhkan niat semacam ini karena tidak ada dasar dari perintah atau perbuatan Nabi shalallahu’alaihi wa sallam, begitu pula dari para sahabat. Letak niat sebenarnya dalam HATI dan bukan di lisan. An Nawawi rahimahullah –Ulama besar mazhab Syafi’i- mengatakan, “Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat dalam hati, tidak diisyaratkan untuk diucapkan dan pendapat ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”


5.      Membangunkan sahur... sahur


Sebenarnya Islam sudah memiliki tatacara sendiri untuk menunjukkan waktu bolehnya makan dan minum yaitu dengan adzan pertama sebelum adzan subuh. Sedangkan adzan kedua ketika adzan subuh adalah untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Inilah cara untuk memberitahukan pada kaum muslimin bahwa masih diperbolehkan makan dan minum dan memberitahukan berakhirnya waktu sahur. Sehingga tidak tepat jika membangunkan kaum muslimin dengan meneriaki “sahuur... sahurr...” baik melalui speaker atau datang kerumah-rumah mengetuki pintu. Cara membangunkan seperti ini sama sekali tidak ada tuntunan dari Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam, juga tidak pernah dilakukan pada generasi terbaik dari umat ini. Jadi, hendaklah yang dilakukan adalah melakukan adzan dua kali.



Adzan pertama untuk menunjukkan masih bolehnya makan dan minum...

Adzan kedua untuk menunjukkan haramnya untuk makan dan minum...



Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memberi nasehat, “Ikutilah (petunjuk Nabi shalallahu’alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah (perkara yang tidak ada dasarnya). Karena (sunnah atau ajaran Nabi shalallahu’alaihi wa sallam) sudah cukup bagi kalian.”

6.      Pensyaratan waktu imsak (Berhenti makan 10 atau 15 menit sebelum waktu subuh)


Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Makan dan minumlah. Janganlah kalian menjadi takut oleh pancaran sinar (putih) yang menjulang. Makan dan minumlah sehingga tampak bagi kalian warna merah.” (HR. Tirmidzi no. 705) Hadits ini menjadi dalil bahwa waktu imsak (menahan diri dari makan dan minum) adalah sejak terbit fajar shodiq –yaitu ketika adzan subuh dikumandangkan- dan bukanlah 10 menit sebelum adzan subuh. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.



Dari Anas, dari Zaib bin Tsabit, ia berkata, ”Kami pernah makan sahur bersama Nabi shalallahu’alaihi wa sallam. Kemudian kami pun berdiri untuk menunaikan sholat. Kemudian Anas bertanya kepada Zaib, “Berapa lama antara adzan subuh dan sahur kalian?” Zaid menjawab, “Sekitar membaca 50 ayat.” (HR. Bukhari no. 575 dan Muslim no. 1097)



Lihatlah berapa lama jarak antara sahur dan subuh? Apakah satu jam? Jawabnya: Tidak terlalu lama, bahkan sangat dekat dengan waktu adzan subuh yaitu sekedar membaca 50 ayat Al Qur’an (sekitar 10/ 15 menit).


7.      Dzikir jama’ah dengan di komandoi dalam shalat Tarawih atau shalat lima waktu


Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah tatkala menjelaskan dzikir setelah sholat, beliau berkata, “Tidak diperbolehkan para jama’ah membaca dzikir secara berjama’ah. Akan tetapi yang tepat adalah setiap orang membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa dikomandoi oleh yang lain. Karena dzikir berjama’ah adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam yang suci ini.”


8.      Perayaan Nuzulul Qur’an


Perayaan Nuzulul Qur’an sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shalallahu’alaihi wa sallam, juga tidak pernah dicontohkan oleh para sahabat. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan, “Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya.” Inilah perkataan para Ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya.


9.      Tidak mau mengembalikan keputusan penetapan Ramadhan dan hari raya kepada pemerintah


Al Lajnah Ad Da’imah, komisi Fatwa Saudi Arabia mengatakan, “Jika di suatu negeri terjadi perselisihan pendapat, maka hendaklah dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya.”


10.  Banyak tidur ketika berpuasa


Sebagian orang banyak termotivasi dengan hadits berikut untuk banyak tidur di bulan Ramadhan,



“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah. Diamnya adalah tasbih. Do’anya adalah do’a mustajab. Pahala amalannya pun akan dilipatgandakan.”



Perlu diketahui bahwa hadits ini adalah hadits DHO’IF... Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Adh Dho’ifah no. 4696 mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang lemah (dho’if).



Ibnu Rajab menerangkan, “Jika makan dan minum diniatkan untuk menguatkan badan agar kuat ketika melaksanakan sholat dan berpuasa, maka seperti inilah yang akan bernilai pahala. Sebagaimana pula apabila seseorang berniat dengan tidurnya di malam dan siang harinya agar kuat dalam beramal, maka tidur seperti ini bernilai ibadah.”



Intinya, adalah semuanya tergantung pada niat. Jika niat tidurnya hanya malas-malasan sehingga tidurnya bisa seharian dari pagi hingga sore, maka tidur ini adalah tidur yang sia-sia. Namu jika tidurnya untuk niat supaya bisa melaksanakan sholat malam atau agar kuat melakukan amalan lainnya, maka tidur ini bernilai ibadah.


11.  Puasa Tapi Tidak Shalat


Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsmaimin –rahimahullah- pernah ditanya, “Apa hukum orang yang berpuasa namun meninggalkan sholat?”

Beliau rahimahullah menjawab, “Puasa yang dilakukan oleh orang yang meninggalkan sholat tidaklah diterima karena orang yang meninggalkan sholat adalah kafir dan murtad. Dalil bahwa meninggalkan sholat termasuk bentuk kekafiran adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (QS. At Taubah: 11)



Alasan lain adalah sabda Nabi shalallahu’alaihi wa sallam , “Pembatasan antara seorang muslim dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan sholat.” (HR. Muslim no. 82)

Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam juga bersabda, “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai sholat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. An Nasa’i no. 463)



Pendapat yang mengatakan bahwa meninggalkan sholat merupakan sesuatu kekafiran adalah pendapat mayoritas sahabat Nabi bahkan dapat dikatakan pendapat tersebut termasuk ijma’ (kesepakatan) para sahabat.



‘Abdullah bin Syaqiq –rahimahullah- (seorang tabi’in yang sudah masyhur) mengatakan, “Para sahabat Nabi shalallahu’alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amalan yang apabila seseorang meninggalkannya akan menyebabkan dia kafir selain perkara sholat.”

Oleh karena itu, apabila seseorang berpuasa namun dia meninggalkan sholat, puasa yang dia lakukan tidaklah sah (tidak diterima). Amalan puasa yang dia lakukan tidaklah bermanfaat pada hari kiamat nanti.



Kami katakan, “Sholatlah kemudian tunaikanlah puasa”. Adapun jika engkau puasa namun tidak sholat, amalan puasamu akan tertolak karena orang kafir (sebab meninggalkan sholat) tidak diterima ibadah darinya.


 [Muhammad Abduh Tuasikal]

Kamis, 06 Juni 2013

YANG MENDAPATKAN KERINGANAN TIDAK BERPUASA




1.      Orang sakit ketika sulit berpuasa

Kondisi pertama, apabila sakitnya ringan dan tidak berpengaruh apa apa ketika berpuasa. Contohnya adalah pilek, pusing atau sakit kepala yang ringan. Untuk kondisi seperti ini tetap harus berpuasa.

Kondisi kedua, apabila sakitnya bisa bertambah parah atau menjadi lama sembuhnya dan berat ketika menjalankan puasa, namun hal ini tidak membahayakan. Untuk kondisi ini dianjurkan untuk tidak berpuasa dan dimakkruhkan jika tetap ingin berpuasa.

Kondisi ketiga, apabila tetap berpuasa akan menyusahkan dirinya bahkan bisa mengantarkan pada kematian. Untuk kondisi ini diharamkan untuk berpuasa. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (An Nisa’: 29)

2.      Orang yang bersafar ketika sulit berpuasa

Musafir yang melakukan perjalanan jauh sehingga mendapatkan keringan untuk mengqoshor shalat dibolehkan untuk tidak berpuasa. Manakah yang lebih utama bagi orang yang bersafar, berpuasa ataukah tidak? Para ulama dalam hal ini berselisih pendapat. Namun yang lebih tepatnya kita melihat kondisi musafir berikut ini:

Kondisi  pertama, jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal baik ketika itu, maka lebih utama tidak berpuasa.

Kondisi kedua, jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak menyulitkan untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini lebih utama untuk berpuasa. Alasannya karena lebih cepat terlepasnya beban kewajiban puasa. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang banyak itu lebih mudah daripada mengqodho’ puasa sendiri disaat orang-orang tidak banyak yang berpuasa.

Kondisi ketiga, jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang berat bahkan mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini diwajibkan untuk tidak berpuasa dan diharamkan untuk berpuasa.

3.      Orang yang sudah tua renta dan dalam keadaan lemah, juga orang sakit yang tak kunjung sembuh 

Para ulama sepakat bahwa orang tua yang tidak mampu berpuasa, boleh baginya untuk tidak berpuasa dan tidak ada qodho’ baginya. Menurut mayoritas ulama, cukup bagi mereka untuk memberi fidyah yaitu memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkannya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al Baqarah: 184)

Begitu pula orang sakit yang tidak kunjung sembuh, dia disamakan dengan orang tua renta yang tidak mampu melakukan puasa sehingga dia diharuskan mengeluarkan fidyah (memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkannya).

4.      Wanita hamil dan menyusui

Jika wanita hamil takut terhadap janin yang dikandungnya dan wanita menyusui takut terhadap bayi yang ia sapih –misalnya takut kurangnya sus-, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, dan hal ini tiada perselisihan diantara para ulama. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya Allah>Azza wa jalla meringankan setengah shalat untuk musafir dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui.” (HR. Nasa’i no. 2275, Ibnu Majah no. 1667, dan Ahmad 4: 347)

Namun apa kewajiban wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa, apakah ada qodho’ ataukah mesti menunaikan fidyah? Inilah yang diperselisihkan para ulama. Pendapat terkuat adalah pendapat yang menyatakan cukup mengqodho’ saja.

Dari hadits Anas bin Malik, ia berkata:
“Sesungguhnya Allah>Azza wa jalla meringankan setengah shalat untuk musafir dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui.” (HR. Nasa’i no. 2275, Ibnu Majah no. 1667, dan Ahmad 4: 347)

Al Jashosh rahimahullah menjelaskan, “Keringanan separuh shalat tentu saja khusus bagi musafir. Para ulama tidak ada beda pendapat mengenai  wanita hamil dan menyusui bahwa mereka tidak boleh mengqoshor  shalat. ... Keringanan puasa bagi wanita hamil dan menyusui  sama halnya dengan keringanan puasa bagi musafir. ... Dan telah diketahui bahwa keringanan puasa bagi musafir yang tidak berpuasa adalah mengqodho’nya, tanpa adanya fidyah. Maka berlaku pula yang demikian pada wanita hamil dan menyusui. Dari sini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara wanita hamil dan menyusui jika mereka khawatir akan membahayakan dirinya atau anaknya (ketika mereka berpuasa) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak merinci hal ini)".

Ulama yang berpendapat cukup mengqodho’ saja (tanpa fidyah) menganggap wanita hamil dan menyusui seperti orang sakit. Sebagaimana orang sakit boleh tidak puasa, ia pun harus mengqodho’ di hari lain. Ini pula yang berlaku pada wanita hamil dan menyusui. Karena dianggap seperti orang sakit, maka mereka cukup mengqodho’ sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala.

“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)

Kondisi ini berlaku bagi keadaan wanita hamil dan menyusui yang masih lampau menunaikan qodho’. Dalam kondisi ini mereka dianggap seperti orang sakit yang diharuskan untuk mengqodho’ di hari lain ketika ia tidak berpuasa. Namun apabila mereka tidak mampu mengqodho’ puasa, karena setelah hamil atau menyusui dalam keadaan lemah dan tidak kuat lagi, maka kondisi mereka dianggap seperti orang sakit yang penggantinya yaitu menunaikan fidyah, dengan cara memberi makan pada satu orang miskin setiap harinya.

Al Jashosh rahimahullah mengatakan, “Jika wanita hamil dan menyusui berpuasa, lalu dapat membahayakan diri, anak atau keduanya, maka pada kondisi ini lebih baik bagi keduanya untuk tidak berpuasa dan terlarang bagi keduanya untuk berpuasa. Akan tetapi, jika tidak membawa dampak bahaya apa-apa pada diri dan anak, maka lebih baik ia berpuasa, dan pada kondisi ini tidak boleh ia tidak berpuasa.