A.
Syarat Wajib Puasa
Ada 4 syarat wajibnya puasa yaitu:
1. Islam,
2. Berakal,
3. Sudah Baligh,
4. Mengetahui
wajibnya puasa.
B.
Syarat Wajibnya Penunaian Puasa
Syarat wajib penunaian puasa, yaitu artinya ia
mendapati waktu tertentu, maka ia dikenakan kewajiban puasa. Syarat yang
dimaksud adalah sbb:
1.
Sehat, tidak dalam keadaan sakit.
2.
Menetap, tidak sedang safar (perjalanan jauh). Dalil kedua syarat
ini adalah firman Allah Ta’ala,
“Dan barangsiapa yang dalam keadaan SAKIT atau SAFAR (dalam
perjalanan) (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari
yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al
Baqarah: 185)
3.
Suci dari haidh dan nifas. Dari Mu’adzah dia berkat, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita
yang haidh mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, “Apakah kamu golongan Haruriyah?’ Aku
menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah tetapi aku
hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami
dahulu juga pernah mengalami haidh, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’
puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’,” (HR. Muslim no.
335)
Berdasarkan
kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haid dan nifas tidak
wajib puasa dan wajib mengqadha’ puasa. (Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 28: 20-21).
C.
Syarat Sahnya Puasa
Ada dua macam syarat sahnya puasa, yaitu:
1.
Dalam keadaan suci dari haid dan nifas. Syarat ini adalah syarat
terkena kewajiban puasa dan sekaligus syarat sahnya puasa.
2.
Berniat. Niat merupakan syarat sahnya puasa karena puasa adalah ibadah
sedangkan ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat. Dalilnya adalah sabda Nabi shalallahu’alaihi wa sallam, “Sesungguhnya
setiap amalan itu tergantung niatnya.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no.
1907)
Namun,
perlu diingat! Bahwa niat tersebut bukanlah diucapkan (dilafadzhkan).
Karena yang dimaksud niat adalah kehendak untuk melakukan sesuatu dan niat
letaknya dihati. NIAT TIDAK PERLU
DIUCAPKAN DENGAN “NAWAITU SHOUMA GHODIN...”.
JIKA SEORANG MAKAN SAHUR, PASTI IA SUDAH NIAT DALAM HATINYA UNTUK PUASA.
Agama ini sungguh tidak mempersulit umatnya.
D.
Wajib Berniat Sebelum Fajar (Waktu
Subuh)
Dalilnya adalah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Hafshoh –
istri Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam -
, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang tidak berniat
sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.” (HR. Abu Dawud no. 2454,
Tirmidzi no. 730, Nasa’i no. 2333)
Adapun dalam
puasa sunnah boleh berniat setelah terbit fajar menurut pendapat jumhur. Hal ini
dapat dilihat dari prebuatan Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam. ‘Aisyah berkata, “Pada
suatu hari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, <Apakah kamu
memiliki makanan?> Kami menjawab,<<Tidak ada>> Beliau
berkata, <Kalau
begitu, saya akan berpuasa> Kemudian beliau datang lagi dilain hari
dan kami berkata, <<Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa
Hais (Makanan terbuat dari kurma, samin, dan keju).>> Maka beliau
berkata, <Bawalah
kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.>
An Nawawi rahimahullah
mengatakan, “Ini dalil mayoritas ulama,
bahwa boleh berniat disiang hari sebelum waktu Zawwal (matahari bergeser kearah
barat) pada puasa sunnah.” Disini disyariatkan bolehnya niat puasa sunnah
di siang hari yaitu sebelum niat belum melakukan pembatal puasa.
E.
Rukun Puasa
Berdasarkan kesepakatan para ulama, rukun puasa adalan
menahan diri dari berbagai pembatal puasa mulai dari terbit fajar (yaitu fajar
shodiq) hingga terbenamnya matahari. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Dan makan minumlah hingga terang
bagimu benang putih dari benang hitam,
yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam. (QS. Al
Baqarah: 187).
Yang dimaksud dari ayat adalah, terangnya siang dan gelapnya
malam dan bukan yang dimaksud benang secara hakiki.
Sumber: Kitab "Panduan Ramadhan Bekal Meraih Ramadhan Penuh Berkah"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar