Arsip Blog

Minggu, 23 Juni 2013

AMALAN KELIRU DI BULAN RAMADHAN




1.      Mengkhususkan ziarah kubur menjelang Ramadhan


Tidaklah tepat ada yang meyakini bahwa menjelang bulan Ramadhan adalah waktu utama untuk menziarahi kubur orang tua atau kerabat (dikenal dengan NYADRAN). Kita boleh setiap saat melakukan ziarah kubur agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian. Nabi shalallahu’alaihi wa sallam bersabda, 

“Lakukanlah ziarah kubur karena hal itu lebih mengingatkan kalian pada akhirat (kematian).”



Namun masalahnya adalah jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan meyakini bahwa menjelang Ramadhan adalah waktu utama untuk NYADRAN atau NYEKAR. Ini sungguh suatu kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang menuntunkan hal ini.


2.      Padusan, mandi besar, atau keramasan menyambut Ramadhan


Tidaklah tepat amalan sebagian orang yang menyambut bulan Ramadhan dengan mandi besar atau padusan terlebih dahulu. Amalan seperti ini juga tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam.



Puasa pun tetap sah walaupun tidak padusan. Lebih parahnya lagi mandi semacam ini (padusan), ada juga yang melakukannya campur baur laki-laki dan perempuan (ikhtilath) dalam satu tempat pemandian. Ini merupakan suatu kesalahan besar karena tidak mengindahkan aturan Islam. Bagaimana mungkin Ramadhan disambut dengan perbuatan yang bisa mendatangkan murka Allah?


3.      Mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya


Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali bagi seseorang yang terbiasa mengerjakan puasa pada hari tersebut maka puasalah.”



Pada hari tersebut juga dilarang untuk berpuasa karena hari tersebut adalah hari yang meragukan. Dan Nabi shalallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukanmaka dia telah mendurhakai Abul Qasim (yaitu Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam).”


4.      Melafazkan niat “Nawaitu shouma ghodin...”


Sebenarnya tidak ada tuntunan sama sekali untuk melafazhkan niat semacam ini karena tidak ada dasar dari perintah atau perbuatan Nabi shalallahu’alaihi wa sallam, begitu pula dari para sahabat. Letak niat sebenarnya dalam HATI dan bukan di lisan. An Nawawi rahimahullah –Ulama besar mazhab Syafi’i- mengatakan, “Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat dalam hati, tidak diisyaratkan untuk diucapkan dan pendapat ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”


5.      Membangunkan sahur... sahur


Sebenarnya Islam sudah memiliki tatacara sendiri untuk menunjukkan waktu bolehnya makan dan minum yaitu dengan adzan pertama sebelum adzan subuh. Sedangkan adzan kedua ketika adzan subuh adalah untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Inilah cara untuk memberitahukan pada kaum muslimin bahwa masih diperbolehkan makan dan minum dan memberitahukan berakhirnya waktu sahur. Sehingga tidak tepat jika membangunkan kaum muslimin dengan meneriaki “sahuur... sahurr...” baik melalui speaker atau datang kerumah-rumah mengetuki pintu. Cara membangunkan seperti ini sama sekali tidak ada tuntunan dari Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam, juga tidak pernah dilakukan pada generasi terbaik dari umat ini. Jadi, hendaklah yang dilakukan adalah melakukan adzan dua kali.



Adzan pertama untuk menunjukkan masih bolehnya makan dan minum...

Adzan kedua untuk menunjukkan haramnya untuk makan dan minum...



Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memberi nasehat, “Ikutilah (petunjuk Nabi shalallahu’alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah (perkara yang tidak ada dasarnya). Karena (sunnah atau ajaran Nabi shalallahu’alaihi wa sallam) sudah cukup bagi kalian.”

6.      Pensyaratan waktu imsak (Berhenti makan 10 atau 15 menit sebelum waktu subuh)


Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Makan dan minumlah. Janganlah kalian menjadi takut oleh pancaran sinar (putih) yang menjulang. Makan dan minumlah sehingga tampak bagi kalian warna merah.” (HR. Tirmidzi no. 705) Hadits ini menjadi dalil bahwa waktu imsak (menahan diri dari makan dan minum) adalah sejak terbit fajar shodiq –yaitu ketika adzan subuh dikumandangkan- dan bukanlah 10 menit sebelum adzan subuh. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.



Dari Anas, dari Zaib bin Tsabit, ia berkata, ”Kami pernah makan sahur bersama Nabi shalallahu’alaihi wa sallam. Kemudian kami pun berdiri untuk menunaikan sholat. Kemudian Anas bertanya kepada Zaib, “Berapa lama antara adzan subuh dan sahur kalian?” Zaid menjawab, “Sekitar membaca 50 ayat.” (HR. Bukhari no. 575 dan Muslim no. 1097)



Lihatlah berapa lama jarak antara sahur dan subuh? Apakah satu jam? Jawabnya: Tidak terlalu lama, bahkan sangat dekat dengan waktu adzan subuh yaitu sekedar membaca 50 ayat Al Qur’an (sekitar 10/ 15 menit).


7.      Dzikir jama’ah dengan di komandoi dalam shalat Tarawih atau shalat lima waktu


Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah tatkala menjelaskan dzikir setelah sholat, beliau berkata, “Tidak diperbolehkan para jama’ah membaca dzikir secara berjama’ah. Akan tetapi yang tepat adalah setiap orang membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa dikomandoi oleh yang lain. Karena dzikir berjama’ah adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam yang suci ini.”


8.      Perayaan Nuzulul Qur’an


Perayaan Nuzulul Qur’an sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shalallahu’alaihi wa sallam, juga tidak pernah dicontohkan oleh para sahabat. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan, “Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya.” Inilah perkataan para Ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya.


9.      Tidak mau mengembalikan keputusan penetapan Ramadhan dan hari raya kepada pemerintah


Al Lajnah Ad Da’imah, komisi Fatwa Saudi Arabia mengatakan, “Jika di suatu negeri terjadi perselisihan pendapat, maka hendaklah dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya.”


10.  Banyak tidur ketika berpuasa


Sebagian orang banyak termotivasi dengan hadits berikut untuk banyak tidur di bulan Ramadhan,



“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah. Diamnya adalah tasbih. Do’anya adalah do’a mustajab. Pahala amalannya pun akan dilipatgandakan.”



Perlu diketahui bahwa hadits ini adalah hadits DHO’IF... Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Adh Dho’ifah no. 4696 mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang lemah (dho’if).



Ibnu Rajab menerangkan, “Jika makan dan minum diniatkan untuk menguatkan badan agar kuat ketika melaksanakan sholat dan berpuasa, maka seperti inilah yang akan bernilai pahala. Sebagaimana pula apabila seseorang berniat dengan tidurnya di malam dan siang harinya agar kuat dalam beramal, maka tidur seperti ini bernilai ibadah.”



Intinya, adalah semuanya tergantung pada niat. Jika niat tidurnya hanya malas-malasan sehingga tidurnya bisa seharian dari pagi hingga sore, maka tidur ini adalah tidur yang sia-sia. Namu jika tidurnya untuk niat supaya bisa melaksanakan sholat malam atau agar kuat melakukan amalan lainnya, maka tidur ini bernilai ibadah.


11.  Puasa Tapi Tidak Shalat


Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsmaimin –rahimahullah- pernah ditanya, “Apa hukum orang yang berpuasa namun meninggalkan sholat?”

Beliau rahimahullah menjawab, “Puasa yang dilakukan oleh orang yang meninggalkan sholat tidaklah diterima karena orang yang meninggalkan sholat adalah kafir dan murtad. Dalil bahwa meninggalkan sholat termasuk bentuk kekafiran adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (QS. At Taubah: 11)



Alasan lain adalah sabda Nabi shalallahu’alaihi wa sallam , “Pembatasan antara seorang muslim dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan sholat.” (HR. Muslim no. 82)

Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam juga bersabda, “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai sholat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. An Nasa’i no. 463)



Pendapat yang mengatakan bahwa meninggalkan sholat merupakan sesuatu kekafiran adalah pendapat mayoritas sahabat Nabi bahkan dapat dikatakan pendapat tersebut termasuk ijma’ (kesepakatan) para sahabat.



‘Abdullah bin Syaqiq –rahimahullah- (seorang tabi’in yang sudah masyhur) mengatakan, “Para sahabat Nabi shalallahu’alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amalan yang apabila seseorang meninggalkannya akan menyebabkan dia kafir selain perkara sholat.”

Oleh karena itu, apabila seseorang berpuasa namun dia meninggalkan sholat, puasa yang dia lakukan tidaklah sah (tidak diterima). Amalan puasa yang dia lakukan tidaklah bermanfaat pada hari kiamat nanti.



Kami katakan, “Sholatlah kemudian tunaikanlah puasa”. Adapun jika engkau puasa namun tidak sholat, amalan puasamu akan tertolak karena orang kafir (sebab meninggalkan sholat) tidak diterima ibadah darinya.


 [Muhammad Abduh Tuasikal]

Facebook Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar