1.
Mengkhususkan
ziarah kubur menjelang Ramadhan
Tidaklah
tepat ada yang meyakini bahwa menjelang bulan Ramadhan adalah waktu utama untuk
menziarahi kubur orang tua atau kerabat (dikenal dengan NYADRAN). Kita boleh setiap saat melakukan ziarah kubur agar
hati kita semakin lembut karena mengingat kematian. Nabi shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Lakukanlah
ziarah kubur karena hal itu lebih mengingatkan kalian pada akhirat (kematian).”
Namun
masalahnya adalah jika seseorang mengkhususkan
ziarah kubur pada waktu tertentu dan meyakini bahwa menjelang Ramadhan
adalah waktu utama untuk NYADRAN atau NYEKAR. Ini sungguh suatu kekeliruan
karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang menuntunkan hal ini.
2.
Padusan,
mandi besar, atau keramasan menyambut Ramadhan
Tidaklah
tepat amalan sebagian orang yang menyambut bulan Ramadhan dengan mandi besar
atau padusan terlebih dahulu. Amalan seperti ini juga tidak ada tuntunannya
sama sekali dari Nabi Muhammad shalallahu’alaihi
wa sallam.
Puasa
pun tetap sah walaupun tidak padusan. Lebih parahnya lagi mandi semacam ini
(padusan), ada juga yang melakukannya campur baur laki-laki dan perempuan
(ikhtilath) dalam satu tempat pemandian. Ini merupakan suatu kesalahan besar
karena tidak mengindahkan aturan Islam. Bagaimana mungkin Ramadhan disambut
dengan perbuatan yang bisa mendatangkan murka Allah?
3.
Mendahului
Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya
Rasulullah
shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan
berpuasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali bagi seseorang yang terbiasa
mengerjakan puasa pada hari tersebut maka puasalah.”
Pada
hari tersebut juga dilarang untuk
berpuasa karena hari tersebut adalah hari yang meragukan. Dan Nabi shalallahu’alaihi
wa sallam bersabda, “Barangsiapa
berpuasa pada hari yang diragukanmaka dia telah mendurhakai Abul Qasim (yaitu
Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam).”
4.
Melafazkan
niat “Nawaitu
shouma ghodin...”
Sebenarnya
tidak ada tuntunan sama sekali untuk melafazhkan niat semacam ini karena tidak
ada dasar dari perintah atau perbuatan Nabi shalallahu’alaihi
wa sallam, begitu pula dari para sahabat. Letak niat sebenarnya dalam HATI dan bukan di lisan. An
Nawawi rahimahullah –Ulama besar
mazhab Syafi’i- mengatakan, “Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak
niat dalam hati, tidak diisyaratkan untuk diucapkan dan pendapat ini tidak
terdapat perselisihan di antara para ulama.”
5.
Membangunkan
sahur... sahur
Sebenarnya
Islam sudah memiliki tatacara sendiri untuk menunjukkan waktu bolehnya makan
dan minum yaitu dengan adzan pertama sebelum adzan subuh. Sedangkan adzan kedua
ketika adzan subuh adalah untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Inilah
cara untuk memberitahukan pada kaum muslimin bahwa masih diperbolehkan makan
dan minum dan memberitahukan berakhirnya waktu sahur. Sehingga tidak tepat jika
membangunkan kaum muslimin dengan meneriaki “sahuur... sahurr...” baik melalui
speaker atau datang kerumah-rumah mengetuki pintu. Cara membangunkan seperti
ini sama sekali tidak ada tuntunan dari Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam, juga tidak pernah dilakukan pada
generasi terbaik dari umat ini. Jadi, hendaklah yang dilakukan adalah melakukan
adzan dua kali.
Adzan pertama untuk
menunjukkan masih bolehnya makan dan minum...
Adzan kedua untuk
menunjukkan haramnya untuk makan dan minum...
Ibnu
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memberi
nasehat, “Ikutilah (petunjuk Nabi shalallahu’alaihi
wa sallam), janganlah membuat bid’ah (perkara yang tidak ada dasarnya). Karena (sunnah
atau ajaran Nabi shalallahu’alaihi wa sallam) sudah cukup bagi kalian.”
6.
Pensyaratan
waktu imsak (Berhenti makan 10 atau 15 menit sebelum waktu subuh)
Rasulullah
shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Makan dan minumlah. Janganlah kalian menjadi takut
oleh pancaran sinar (putih) yang menjulang. Makan dan minumlah sehingga tampak
bagi kalian warna merah.” (HR. Tirmidzi no. 705) Hadits ini menjadi
dalil bahwa waktu imsak (menahan diri dari makan dan minum) adalah sejak terbit
fajar shodiq –yaitu ketika adzan subuh dikumandangkan- dan bukanlah 10 menit
sebelum adzan subuh. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Dari
Anas, dari Zaib bin Tsabit, ia berkata, ”Kami pernah makan sahur bersama Nabi shalallahu’alaihi wa sallam. Kemudian kami
pun berdiri untuk menunaikan sholat. Kemudian Anas bertanya kepada Zaib, “Berapa
lama antara adzan subuh dan sahur kalian?” Zaid menjawab, “Sekitar membaca 50
ayat.” (HR. Bukhari no. 575 dan Muslim no. 1097)
Lihatlah
berapa lama jarak antara sahur dan subuh? Apakah satu jam? Jawabnya: Tidak
terlalu lama, bahkan sangat dekat dengan waktu adzan subuh yaitu sekedar
membaca 50 ayat Al Qur’an (sekitar 10/ 15 menit).
7.
Dzikir
jama’ah dengan di komandoi dalam shalat Tarawih atau shalat lima waktu
Syaikh
Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah tatkala
menjelaskan dzikir setelah sholat, beliau berkata, “Tidak diperbolehkan para
jama’ah membaca dzikir secara berjama’ah. Akan tetapi yang tepat adalah setiap
orang membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa dikomandoi oleh yang lain. Karena dzikir
berjama’ah adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam yang
suci ini.”
8.
Perayaan
Nuzulul Qur’an
Perayaan
Nuzulul Qur’an sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shalallahu’alaihi wa sallam, juga tidak
pernah dicontohkan oleh para sahabat. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
mengatakan, “Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah
mendahului kita untuk melakukannya.” Inilah perkataan para Ulama pada setiap
amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan
perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat
suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya.
9.
Tidak
mau mengembalikan keputusan penetapan Ramadhan dan hari raya kepada pemerintah
Al
Lajnah Ad Da’imah, komisi Fatwa Saudi Arabia mengatakan, “Jika di suatu negeri
terjadi perselisihan pendapat, maka hendaklah dikembalikan pada keputusan penguasa
muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu pendapat,
hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri tersebut wajib
mengikuti pendapatnya.”
10.
Banyak
tidur ketika berpuasa
Sebagian
orang banyak termotivasi dengan hadits berikut untuk banyak tidur di bulan
Ramadhan,
“Tidurnya orang yang berpuasa
adalah ibadah. Diamnya adalah tasbih. Do’anya adalah do’a mustajab. Pahala amalannya
pun akan dilipatgandakan.”
Perlu
diketahui bahwa hadits ini adalah hadits DHO’IF... Syaikh Al Albani dalam As
Silsilah Adh Dho’ifah no. 4696 mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang
lemah (dho’if).
Ibnu
Rajab menerangkan, “Jika makan dan minum diniatkan untuk menguatkan badan agar
kuat ketika melaksanakan sholat dan berpuasa, maka seperti inilah yang akan
bernilai pahala. Sebagaimana pula apabila seseorang berniat dengan tidurnya di
malam dan siang harinya agar kuat dalam beramal, maka tidur seperti ini
bernilai ibadah.”
Intinya,
adalah semuanya tergantung pada niat. Jika niat tidurnya hanya malas-malasan
sehingga tidurnya bisa seharian dari pagi hingga sore, maka tidur ini adalah
tidur yang sia-sia. Namu jika tidurnya untuk niat supaya bisa melaksanakan
sholat malam atau agar kuat melakukan amalan lainnya, maka tidur ini bernilai
ibadah.
11.
Puasa
Tapi Tidak Shalat
Syaikh
Muhammad bin Sholih Al ‘Utsmaimin –rahimahullah-
pernah ditanya, “Apa hukum orang yang berpuasa namun meninggalkan sholat?”
Beliau
rahimahullah menjawab, “Puasa yang
dilakukan oleh orang yang meninggalkan sholat tidaklah diterima karena orang
yang meninggalkan sholat adalah kafir dan murtad. Dalil bahwa meninggalkan
sholat termasuk bentuk kekafiran adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Jika
mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu)
adalah saudara-saudaramu seagama. Dan kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum
yang mengetahui.” (QS. At Taubah: 11)
Alasan
lain adalah sabda Nabi shalallahu’alaihi
wa sallam , “Pembatasan antara seorang muslim
dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan sholat.” (HR.
Muslim no. 82)
Rasulullah
shalallahu’alaihi wa sallam juga
bersabda, “Perjanjian antara kami dan mereka
(orang kafir) adalah mengenai sholat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah
kafir.” (HR. An Nasa’i no. 463)
Pendapat
yang mengatakan bahwa meninggalkan sholat merupakan sesuatu kekafiran adalah
pendapat mayoritas sahabat Nabi bahkan dapat dikatakan pendapat tersebut
termasuk ijma’ (kesepakatan) para sahabat.
‘Abdullah
bin Syaqiq –rahimahullah- (seorang
tabi’in yang sudah masyhur) mengatakan, “Para sahabat Nabi shalallahu’alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amalan
yang apabila seseorang meninggalkannya akan menyebabkan dia kafir selain perkara
sholat.”
Oleh
karena itu, apabila seseorang berpuasa namun dia meninggalkan sholat, puasa
yang dia lakukan tidaklah sah (tidak diterima). Amalan puasa yang dia lakukan
tidaklah bermanfaat pada hari kiamat nanti.
Kami katakan,
“Sholatlah kemudian tunaikanlah puasa”. Adapun jika engkau puasa namun tidak
sholat, amalan puasamu akan tertolak karena orang kafir (sebab meninggalkan
sholat) tidak diterima ibadah darinya.
[Muhammad Abduh
Tuasikal]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar