1.
Orang sakit ketika sulit berpuasa
Kondisi pertama, apabila sakitnya ringan
dan tidak berpengaruh apa apa ketika berpuasa. Contohnya adalah pilek, pusing
atau sakit kepala yang ringan. Untuk kondisi seperti ini tetap harus berpuasa.
Kondisi kedua, apabila sakitnya bisa
bertambah parah atau menjadi lama sembuhnya dan berat ketika menjalankan puasa,
namun hal ini tidak membahayakan. Untuk kondisi ini dianjurkan untuk tidak
berpuasa dan dimakkruhkan jika tetap ingin berpuasa.
Kondisi ketiga, apabila tetap berpuasa akan
menyusahkan dirinya bahkan bisa mengantarkan pada kematian. Untuk kondisi ini
diharamkan untuk berpuasa. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (An
Nisa’: 29)
2.
Orang yang bersafar ketika sulit
berpuasa
Musafir yang melakukan perjalanan jauh
sehingga mendapatkan keringan untuk mengqoshor shalat dibolehkan untuk tidak
berpuasa. Manakah yang lebih utama bagi orang yang bersafar, berpuasa ataukah
tidak? Para ulama dalam hal ini berselisih pendapat. Namun yang lebih tepatnya
kita melihat kondisi musafir berikut ini:
Kondisi
pertama, jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal baik
ketika itu, maka lebih utama tidak berpuasa.
Kondisi kedua, jika tidak memberatkan untuk
berpuasa dan tidak menyulitkan untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada
saat ini lebih utama untuk berpuasa. Alasannya karena lebih cepat terlepasnya
beban kewajiban puasa. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena
berpuasa dengan orang banyak itu lebih mudah daripada mengqodho’ puasa sendiri
disaat orang-orang tidak banyak yang berpuasa.
Kondisi ketiga, jika berpuasa akan
mendapati kesulitan yang berat bahkan mengantarkan pada kematian, maka pada
saat ini diwajibkan untuk tidak berpuasa dan diharamkan untuk berpuasa.
3.
Orang yang sudah tua renta dan dalam
keadaan lemah, juga orang sakit yang tak kunjung sembuh
Para ulama sepakat bahwa orang tua yang
tidak mampu berpuasa, boleh baginya untuk tidak berpuasa dan tidak ada qodho’
baginya. Menurut mayoritas ulama, cukup bagi mereka untuk memberi fidyah yaitu
memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkannya. Hal
ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al Baqarah: 184)
Begitu pula orang sakit yang tidak kunjung
sembuh, dia disamakan dengan orang tua renta yang tidak mampu melakukan puasa
sehingga dia diharuskan mengeluarkan fidyah (memberi makan kepada orang miskin
bagi setiap hari yang ditinggalkannya).
4.
Wanita hamil dan menyusui
Jika wanita hamil takut terhadap janin yang
dikandungnya dan wanita menyusui takut terhadap bayi yang ia sapih –misalnya
takut kurangnya sus-, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, dan hal ini
tiada perselisihan diantara para ulama. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya
Allah>Azza wa jalla meringankan setengah shalat untuk musafir dan
meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui.” (HR. Nasa’i no.
2275, Ibnu Majah no. 1667, dan Ahmad 4: 347)
Namun apa kewajiban wanita hamil dan
menyusui jika tidak berpuasa, apakah ada qodho’ ataukah mesti menunaikan
fidyah? Inilah yang diperselisihkan para ulama. Pendapat terkuat adalah
pendapat yang menyatakan cukup mengqodho’ saja.
Dari hadits Anas bin Malik, ia berkata:
“Sesungguhnya
Allah>Azza wa jalla meringankan setengah shalat untuk musafir dan
meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui.” (HR. Nasa’i no.
2275, Ibnu Majah no. 1667, dan Ahmad 4: 347)
Al Jashosh rahimahullah menjelaskan, “Keringanan separuh shalat tentu saja
khusus bagi musafir. Para ulama tidak ada beda pendapat mengenai wanita hamil dan menyusui bahwa mereka tidak
boleh mengqoshor shalat. ... Keringanan
puasa bagi wanita hamil dan menyusui
sama halnya dengan keringanan puasa bagi musafir. ... Dan telah
diketahui bahwa keringanan puasa bagi musafir yang tidak berpuasa adalah
mengqodho’nya, tanpa adanya fidyah. Maka berlaku pula yang demikian pada wanita
hamil dan menyusui. Dari sini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara
wanita hamil dan menyusui jika mereka khawatir akan membahayakan dirinya atau
anaknya (ketika mereka berpuasa) Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri tidak merinci hal ini)".
Ulama yang berpendapat cukup mengqodho’
saja (tanpa fidyah) menganggap wanita hamil dan menyusui seperti orang sakit. Sebagaimana
orang sakit boleh tidak puasa, ia pun harus mengqodho’ di hari lain. Ini pula
yang berlaku pada wanita hamil dan menyusui. Karena dianggap seperti orang
sakit, maka mereka cukup mengqodho’ sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala.
“Maka
barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)
Kondisi ini berlaku bagi keadaan wanita
hamil dan menyusui yang masih lampau menunaikan qodho’. Dalam kondisi ini
mereka dianggap seperti orang sakit yang diharuskan untuk mengqodho’ di hari
lain ketika ia tidak berpuasa. Namun apabila mereka tidak mampu mengqodho’
puasa, karena setelah hamil atau menyusui dalam keadaan lemah dan tidak kuat
lagi, maka kondisi mereka dianggap seperti orang sakit yang penggantinya yaitu
menunaikan fidyah, dengan cara memberi makan pada satu orang miskin setiap
harinya.
Al Jashosh rahimahullah mengatakan, “Jika wanita hamil dan menyusui berpuasa,
lalu dapat membahayakan diri, anak atau keduanya, maka pada kondisi ini lebih
baik bagi keduanya untuk tidak berpuasa dan terlarang bagi keduanya untuk
berpuasa. Akan tetapi, jika tidak membawa dampak bahaya apa-apa pada diri dan
anak, maka lebih baik ia berpuasa, dan pada kondisi ini tidak boleh ia tidak
berpuasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar