Arsip Blog

Kamis, 06 Juni 2013

YANG MENDAPATKAN KERINGANAN TIDAK BERPUASA




1.      Orang sakit ketika sulit berpuasa

Kondisi pertama, apabila sakitnya ringan dan tidak berpengaruh apa apa ketika berpuasa. Contohnya adalah pilek, pusing atau sakit kepala yang ringan. Untuk kondisi seperti ini tetap harus berpuasa.

Kondisi kedua, apabila sakitnya bisa bertambah parah atau menjadi lama sembuhnya dan berat ketika menjalankan puasa, namun hal ini tidak membahayakan. Untuk kondisi ini dianjurkan untuk tidak berpuasa dan dimakkruhkan jika tetap ingin berpuasa.

Kondisi ketiga, apabila tetap berpuasa akan menyusahkan dirinya bahkan bisa mengantarkan pada kematian. Untuk kondisi ini diharamkan untuk berpuasa. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (An Nisa’: 29)

2.      Orang yang bersafar ketika sulit berpuasa

Musafir yang melakukan perjalanan jauh sehingga mendapatkan keringan untuk mengqoshor shalat dibolehkan untuk tidak berpuasa. Manakah yang lebih utama bagi orang yang bersafar, berpuasa ataukah tidak? Para ulama dalam hal ini berselisih pendapat. Namun yang lebih tepatnya kita melihat kondisi musafir berikut ini:

Kondisi  pertama, jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal baik ketika itu, maka lebih utama tidak berpuasa.

Kondisi kedua, jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak menyulitkan untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini lebih utama untuk berpuasa. Alasannya karena lebih cepat terlepasnya beban kewajiban puasa. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang banyak itu lebih mudah daripada mengqodho’ puasa sendiri disaat orang-orang tidak banyak yang berpuasa.

Kondisi ketiga, jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang berat bahkan mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini diwajibkan untuk tidak berpuasa dan diharamkan untuk berpuasa.

3.      Orang yang sudah tua renta dan dalam keadaan lemah, juga orang sakit yang tak kunjung sembuh 

Para ulama sepakat bahwa orang tua yang tidak mampu berpuasa, boleh baginya untuk tidak berpuasa dan tidak ada qodho’ baginya. Menurut mayoritas ulama, cukup bagi mereka untuk memberi fidyah yaitu memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkannya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al Baqarah: 184)

Begitu pula orang sakit yang tidak kunjung sembuh, dia disamakan dengan orang tua renta yang tidak mampu melakukan puasa sehingga dia diharuskan mengeluarkan fidyah (memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkannya).

4.      Wanita hamil dan menyusui

Jika wanita hamil takut terhadap janin yang dikandungnya dan wanita menyusui takut terhadap bayi yang ia sapih –misalnya takut kurangnya sus-, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, dan hal ini tiada perselisihan diantara para ulama. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya Allah>Azza wa jalla meringankan setengah shalat untuk musafir dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui.” (HR. Nasa’i no. 2275, Ibnu Majah no. 1667, dan Ahmad 4: 347)

Namun apa kewajiban wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa, apakah ada qodho’ ataukah mesti menunaikan fidyah? Inilah yang diperselisihkan para ulama. Pendapat terkuat adalah pendapat yang menyatakan cukup mengqodho’ saja.

Dari hadits Anas bin Malik, ia berkata:
“Sesungguhnya Allah>Azza wa jalla meringankan setengah shalat untuk musafir dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui.” (HR. Nasa’i no. 2275, Ibnu Majah no. 1667, dan Ahmad 4: 347)

Al Jashosh rahimahullah menjelaskan, “Keringanan separuh shalat tentu saja khusus bagi musafir. Para ulama tidak ada beda pendapat mengenai  wanita hamil dan menyusui bahwa mereka tidak boleh mengqoshor  shalat. ... Keringanan puasa bagi wanita hamil dan menyusui  sama halnya dengan keringanan puasa bagi musafir. ... Dan telah diketahui bahwa keringanan puasa bagi musafir yang tidak berpuasa adalah mengqodho’nya, tanpa adanya fidyah. Maka berlaku pula yang demikian pada wanita hamil dan menyusui. Dari sini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara wanita hamil dan menyusui jika mereka khawatir akan membahayakan dirinya atau anaknya (ketika mereka berpuasa) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak merinci hal ini)".

Ulama yang berpendapat cukup mengqodho’ saja (tanpa fidyah) menganggap wanita hamil dan menyusui seperti orang sakit. Sebagaimana orang sakit boleh tidak puasa, ia pun harus mengqodho’ di hari lain. Ini pula yang berlaku pada wanita hamil dan menyusui. Karena dianggap seperti orang sakit, maka mereka cukup mengqodho’ sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala.

“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)

Kondisi ini berlaku bagi keadaan wanita hamil dan menyusui yang masih lampau menunaikan qodho’. Dalam kondisi ini mereka dianggap seperti orang sakit yang diharuskan untuk mengqodho’ di hari lain ketika ia tidak berpuasa. Namun apabila mereka tidak mampu mengqodho’ puasa, karena setelah hamil atau menyusui dalam keadaan lemah dan tidak kuat lagi, maka kondisi mereka dianggap seperti orang sakit yang penggantinya yaitu menunaikan fidyah, dengan cara memberi makan pada satu orang miskin setiap harinya.

Al Jashosh rahimahullah mengatakan, “Jika wanita hamil dan menyusui berpuasa, lalu dapat membahayakan diri, anak atau keduanya, maka pada kondisi ini lebih baik bagi keduanya untuk tidak berpuasa dan terlarang bagi keduanya untuk berpuasa. Akan tetapi, jika tidak membawa dampak bahaya apa-apa pada diri dan anak, maka lebih baik ia berpuasa, dan pada kondisi ini tidak boleh ia tidak berpuasa.

Facebook Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar